Wali Nikah Telah Mewakilkan, Dilarang Hadir di Pernikahan? Benarkah? | Konsultasi Muslim
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh ustadz saya izin bertanya. Apakah saat pelaksanaan
ijab Qabul di mempelai wanita, apakah diperbolehkan orang tua pihak laki-laki
ikut menyaksikan ijab Qobul tersebut?
Soalnya
kok ada sebagain mayoritas masyarakat bilang itu tidak boleh.
Dari:
Putri
Dijawab oleh : Fastabikul Randa Ar-Riyawi حفظه الله تعالى melalui tanya jawab grup
Kajian Whatsapp
Wa’alaikumussalam
Warohmatullahi Wabarokatuh.
Di dalam Islam, tidak ada
larangan bagi kedua orang tua mempelai untuk hadir dalam cara akad nikah, baik
dalil yang berasal dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Hanya saja mungkin di
beberapa daerah atau wilayah di Indonesia ada yang melarang seorang wali hadir
dalam acara pernikahan tersebut karena sudah mewakilkan kepada orang lain.
Seperti ayah seorang mempelai perempuan yang tidak bisa menikahkan putrinya
karena mungkin tidak terlalu bisa mengucapkan kalimat ijab, entah itu
terkendala bahasa atau lainnya. Maka dia mewakilkan kepada pihak KUA untuk
menikahkan putrinya. Dan di beberapa wilayah mungkin ayah perempuan ini tidak
diperbolehkan hadir dalam acara akad nikah putrinya itu karena telah
mewakilkannya, tentu bisa menyebabkan kesedihan disebabkan tidak bisa
menyaksikan putrinya menikah.
Bagaimana Islam memandang
ini?
Imam Taqiyuddin As-Syafi’i rohimahullah
berkata di dalam kitabnya Kifayatul Akhyar:
يشْتَرط فِي صِحَة عقد النِّكَاح
حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل وَيجوز أَن يُوكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج فَلَو
وكل الْوَلِيّ وَالزَّوْج أَو أَحدهمَا أَو حضر الْوَلِيّ ووكيله وَعقد الْوَكِيل
لم يَصح النِّكَاح لِأَن الْوَكِيل نَائِب الْوَلِيّ وَالله أعلم
Dalam keabsahan akad nikah
disyaratkan hadirnya empat orang yang terdiri dari wali, suami dan dua orang
saksi yang adil. Wali dan suami diperbolehkan mewakilkan kepada orang lain
(untuk melakukan ijab kabul). Maka jika wali dan suami atau salah satunya telah
mewakilkan kepada orang lain atau wali dan wakilnya hadir (pada saat akad
nikah) lalu sang wakil melakukan akad nikah maka pernikahannya tidak sah,
karena wakil adalah pengganti wali. Wallahu a’lam. (Kifayatul Akhyar, jilid 1
halaman 358).
Berdasarkan uraian dari imam
Taqiyuddin di atas, bahwa jika seorang wali telah mewakilkan kepada orang lain,
kemudian dia menghadiri pernikahan tersebut, maka pernikahan itu tidak sah.
Inilah yang dipahami oleh sebagian masyarakat sehingga tidak membolehkan ayah
perempuan hadir dalam akad nikah putrinya karena telah mewakilkannya kepada
orang lain.
Jika ditarik dari keabsahan
akad nikah yang disyaratkan di atas, yaitu harus dihadiri 4 orang, wali, suami
dan 2 orang saksi. Maksud pengarang mungkin jika sang ayah perempuan hadir di
sana sebagai saksi, sedangkan dia tidak boleh menjadi saksi karena dia adalah
wali perempuan, hanya saja diwakilkan kepada orang lain. Maka jika yang hadir
di pernikahan tersebut 4 orang dan yang 4 itu termasuk ayah sang perempuan,
maka pernikahan tidak sah karena yang hadir hanya terhitung 3 orang, sedangkan
ayah sang perempuan tidak boleh dimasukkan sebagai saksi. Begitu juga wakil
wali yang ditunjuk sebagai wali untuk menikahkan mempelai, tidak bisa menjadi
saksi karena statusnya berubah sebagai wakil wali (yang menikahkan). Maka dalam
keadaan seperti ini pernikahan tidak sah.
Pernyataan seperti ini bisa dirujuk
kepada pendapat Syekh Nawawi Al-Bantani di dalam kitab fiqihnya.
Syekh Nawawi Al-Bantani
rohimahullah berkata di dalam kitabnya Nihayatuz Zain:
وَلَا بِحَضْرَة مُتَعَيّن للولاية
فَلَو وكل الْأَب أَو الْأَخ الْمُنْفَرد فِي النِّكَاح وَحضر مَعَ شَاهد آخر لم
يَصح النِّكَاح لِأَنَّهُ ولي عَاقد فَلَا يكون شَاهدا
Dan tidak sah sebuah
pernikahan dengan dihadiri orang yang menentukan (orang lain) untuk perwalian.
Maka bila seorang bapak atau seorang saudara seorang diri (yang menjadi wali)
mewakilkan kepada orang lain dalam akad nikah dan bapak atau saudara itu hadir
bersama seorang saksi yang lain maka pernikahan itu tidak sah, karena dia bapak
atau saudara itu pada hakikatnya adalah wali yang mengakadkan, maka tidak bisa
menjadi saksi. (Nihayatuz Zain, jilid 1 halaman 306).
Inilah sebetulnya yang
dimaksud para ulama, maksudnya adalah jika sang wali perempuan hadir di
pernikahan dan menjadi saksi pada pernikahan tersebut. Sedangkan dia berstatus
wali, hanya saja diwakilkan kepada orang lain.
Namun, kenyataan yang terjadi
di masyarakat adalah orang yang menghadiri sebuah pernikahan itu sangatlah
banyak, jadi sekalipun sang wali perempuan hadir, masih banyak laki-laki yang
lain yang juga hadir dan bisa menjadi saksi. Jadi tidak ada larangan di dalam Islam
bagi kedua orang tua mempelai untuk hadir di acara pernikahan anak mereka.
Karena itu adalah hari kebahagiaan mereka menyaksikan anak-anak mereka
menyempurnakan separoh agamanya.
Islam tidak pernah
mempersulit pemeluknya untuk mengerjakan perintah agama, hanya saja pemeluknya
lah yang mempersulit diri dalam menjalankan perintah agama.
Allah berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah: 185).
Dari Abu Hurairah
rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ
يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا،
وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ
الدُّلْجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam)
itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya
kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh
karena itu, berlaku luruslah, sederhana, dan serta memohon pertolongan kepada
Allah dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam. (HR. Bukhari,
hadits no. 39).
Inilah yang diinginkan Islam
bagi pemeluknya. Islam menginginkan kemudahan bagi setiap muslim, agar mudah
menjalankan syari’at Islam serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga bisa dipahami.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Posting Komentar